Imam an-Nawawi berkata: “Maksud (hadits di atas), Rasulullah r menganjurkan kita agar segera beramal shalih sebelum kita tidak mampu melakukannya lagi dan sebelum kita dilalaikan oleh fitnah yang banyak dan menumpuk satu sama lain, seperti kegelapan malam yang gelap gulita dan saling tindih menindih.” (Kitab Syarah Shahih Muslim II/114-115).

Amal shalih yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah amal yang harus memenuhi dua kriteria yaitu ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah r). Amalan seperti ini adalah cerminan kalimat syahadat yang menjadi lambang ke-Islaman kita. Keikhlasan adalah perwujudan syahadat Laa Ilaha Illallah (Tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah) dan syahadat Muhammadurrasulullah (Muhammad adalah utusan Allah) mengharuskan kita menyembah Allah hanya dengan cara yang diajarkan Nabi Muhammad r. Dengan syahadat seperti ini kita bersaksi bahwa ibadah kita hanya kita persembahkan untuk Allah, bukan untuk jin penunggu tempat-tempat keramat atau untuk manusia yang hendak dicuri perhatiannya. Dan dengan syahadat Muhmmadarasulullah kita bersaksi bahwa Muhammad adalah satu-satunya utusan Allah yang menjelaskan bagaimana cara beribadah pada Allah yang dituangkan melalui syariat Islam. Tentu bagi muslim yang bersyahadat seperti ini, tidak akan memakai cara beribadah yang dibuat-buat oleh selain Rasulullah r.

Fitnah yang diwanti-wanti oleh Rasulullahr dalam hadits di atas tidak disebutkan secara khusus. Rasulullah r menyebutkannya secara nakirah yang bersifat umum. Maksudnya meliputi segala bentuk fitnah, baik itu fitnah syubhat (bencana akibat prinsip atau pemikiran yang menyimpang) maupun fitnah syahwat (bencana akibat mempertuhankan hawa nafsu).

Fitnah syubhat adalah setiap fitnah yang bersumber dari kebodohan, ketidakpahaman tentang al-Qur-an dan al-Hadits, sehingga maknanya salah dipahami dan ditafsirkan secara keliru. Sedangkan fitnah syahwat adalah fitnah yang muncul karena kinginan untuk mendapat kenikmatan duniawi berupa harta, kedudukan, kepemimpinan dan wanita. (Lihat Kitab Syarhu Riyadhis Shalihin, di bab al-Mubadarah ilal Khairat, karya Syaikh al-’Utsaimin).

Saking berbahanya fitnah ini, Rasulullahr menggambarkannya seperti malam yang gelap gulita. Dimana orang yang tertimpa fitnah ini akan merasa bingung, tidak tahu harus melangkah kemana. Syaikh ‘Ali al-Qari dalam kitab al-Mirqat (Juz 15/34) berkata: “Seperti malam yang gelap gulita; untuk menggambarkan hitam dan gelapnya fitnah tersebut serta tidak jelasnya antara kebaikan dan keburukan pada saat itu.”

Contoh yang dibawakan oleh Rasulullah r di atas juga bersifat umum, beliau bersabda: “Yaitu seseorang diwaktu pagi beriman tapi pada waktu sore ia telah kafir, atau pada waktu sore ia beriman dan pada pagi harinya ia telah kafir.”

Syaikh ‘Ali al-Qari berkata: “Yang dimaksud dengan waktu pagi dan sore adalah, berubahnya manusia (yang terseret fitnah tersebut) waktu demi waktu, bukan maksudnya mengkhususkan kedua zaman ini. Lafaz ini seolah-olah ungkapan akan keadaan mereka yang berubah-ubah, plin-plannya perkataan mereka, tidak tetapnya perbuatan (pendirian mereka). Sesekali mengadakan perjanjian kemudian membatalkannya, sesekali terlihat amanah kemudian ia mengkhianatinya, sesekali berbuat kebajikan kemudian ia berbuat kemungkaran, sesekali berbuat (mendukung) sunnah kemudian berbuat (mendukung) bid’ah, sesekali kelihatan beriman kemudian ia kafir.” (al-Mirqat: juz 15/367).

Syaikh al-Mubarakfuri berkata: “Sabda Rasulullah r ‘…pada waktu sore ia telah kafir’, maknanya bisa menjadi kafir (keluar dari Islam) atau kufur nikmat (mengingkari kenikmatan) atau menyerupai orang kafir atau melakukan amalan orang-orang kafir.” al-Hasan al-Bashri menafsirkan, “maksudnya: pada pagi hari ia mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan pada sore harinya ia menghalalkan hal tersebut.” (Tuhfatul Ahwadzi: 6/364).

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Rasulullah r menjelaskan: “ia rela menjual agamanya dengan secuil keuntungan duniawi.”

Sedikit demi sedikit kita mulai merasakan fitnah ini. Hal ini tentu saja tidak aneh, sahabat Rasulullah Abu Darda’ t pun pada masa hidupnya mulai merasakan fitnah tersebut. Diriwayatkan bahwa jika beliau mendengar kabar bahwa seseorang telah meninggal dalam keadaan baik, beliau berkata: “Selamat untuknya, seandainya saja aku dapat menggantikan posisinya.” Ummu Darda’ lalu bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian.” Beliau menjawab: “(Pada zaman -yang penuh fitnah- ini, bisa saja terjadi) seseorang diwaktu pagi beriman tapi pada waktu sore ia telah kafir.” (Riwayat ini dinukil dari Kitab Syarhul Bukhari 19/73, karya Ibnu Baththal).

Ditambah lagi kenyataan demi kenyataan terpampang di depan mata kita. Seperti munculnya nabi-nabi palsu, yang menyatakan dirinya sebagai utusan Allah. Tidak sedikit kaum muslimin yang mengikuti ajakan para nabi palsu tersebut. Entah karena kebodohan atau karena hawa nafsu mereka untuk mendapatkan popularitas dan menjadi orang-orang terpandang. Contoh, Mirza Gulam Ahmad dengan sekte Ahmadiyyah-nya yang menyebar di Indonesia. Contoh lain, Lia Eden, berapa banyak kaum muslimin yang berhasil dimurtadkan oleh mereka.

Dan anehnya sebagian besar pengikut Ahmadiyyah misalnya, tidak mau meninggalkan keyakinan mereka, seolah-oleh mereka berada di tengah malam gelap gulita yang menghalangi pengelihatan mereka dari kebenaran. Belum lagi kasus kristenisasi di daerah yang jauh dari sentuhan dakwah. Kaum muslimin disana dengan terang-terangan menjual agamanya dengan sebungkus mie instant. Bahkan di lingkungan kita berapa banyak orang yang murtad karena wanita, harta dan kedudukan. Wallahul Musta’an

Contoh kasus yang lebih samar lagi. Beberapa tahun yang lalu kita mendengar sekelompok orang (yang mengusung label Islam sebagai komoditas politik) mengharamkan pemimpin wanita, dan inilah yang benar. Sebab Rasulullah r bersabda, ketika orang-orang Persi mengangkat wanita sebagai pemimpin negara mereka:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menjadikan wanita pemimpin urusan mereka.” (HR. Bukhari)

Namun setelah berlalu beberapa waktu,mereka berbalik haluan mendukung pemimpin wanita, kemudian mereka berdalil dengan seabrek kaidah Islam yang berusaha mereka pelintir kesana kemari untuk menghalalkan apa yang pernah mereka haramkan dan apa yang diharamkan Rasulullah r.

Dulu beberapa wanita aktifis terkenal sebagai orang-orang yang menjaga diri selalu benuansa Islami (paling tidak tercermin dari pakaian mereka). Namun dengan alasan “penyesuaian” pakaian mereka kini justru tambah jauh dari apa yang mereka sebut bernuansa Islami.

Dulu suatu kaum sangat anti dengan sistem dan cara orang-orang kafir, sekarang menurut mereka boleh-boleh saja. Dulu setiap acara dibuka dengan takbir, sekarang dibuka dengan suara gong. Dulu yang berceramah di hadapan mereka adalah para ustadz, sekarang para pemuka agama lainpun berceramah di hadapan mereka. Dulu memboikot produk-produk Amerika dan Yahudi, namun sekarang merekalah orang yang paling pertama mengkhianati seruan tersebut. (Catatan: Pendapat yang benar: boikot produk negara lain adalah urusan pemerintah). Dulu sangat anti dengan label orang-orang kuffar sekarang dengan bangga memakai ciri khas orang-orang kuffar. Apakah mereka sudah lupa dengan hadits yang mungkin masih menempel di lidah-lidahmereka:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Apakah hanya untuk harta dan kedudukan duniawi mereka mulai dengan terang-terangan menghalalkan segala macam bid’ah, seperti maulid dan lain-lain?

Apakah hanya untuk kursi harta dan kedudukan mereka menjual sebagian keyakian mereka? Berpindah haluan dari Islami menjadi pluralis-liberalis?

Sebenarnya, Islam yang bagaimana yang hendak mereka perjuangkan? Apakah Islam yang hanya sekedar nama? Ataukah Islam yang syari’atnya habis dipreteli demi kepentingan politik, kursi, kekuasaan dan jabatan?

Akhirnya kami hanya bisa mengajak pembaca yang budiman untuk bersegera diri beramal shalih dan memohon perlindungan pada Allah dari segalam macam bentuk fitnah (cobaan dan bencana).

Allah berfirman:

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Dan berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148)

Rasulullah r mengajarkan satu doa yang disunnahkan dibaca setelah membaca tahiyyat akhir sebelum salam. Doa tersebut:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian serta keburukan fitnah al-Masih ad-Dajjal.” (HR. Muslim).

Jangan merasa aman dari fitnah. Jangan mengatakan, saya tidak mungkin dapat tejerumus dalam fitnah seperti ini. Betapa banyak para da’i yang dulunya dikenal sebagai penyeru al-Qur-an dan as-Sunnah, namun akhirnya tergelincir sedikit demi sedikit. Tidak sadar dirinya telah termakan fitnah karena gelapnya iming-iming dunia. Bahkan di kemudian hari justru memusuhidengan tuduhan-tuduhan dusta para da’i Sunnah yang konsisten. Wallahul musta’an wa ilaihit tuqlan.

 

Tulisan ini hanyalah nasehat bagi kita semua dan bagi mereka yang jatuh dalam kubangan fitnah “Memperalat Islam demi kepentingan duniawi bagi pribadi atau kelompok tertentu”. Tulisan ini tidak memuat kepentingan politik apapun dari kelompok manapun.