Ulama tafsir mengaitkan turunnya ayat di atas secara khusus dengan peristiwa perang Khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin saat itu. Nabi dan para Sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai para Sahabat mengganjal perut dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar. Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Adapun Nabi, benar-benar beliau adalah suri teladan dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan mengganjal perutnya dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Kesabaran Nabi dan perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh kesah dalam kisah Khandaq, diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk suri teladan yang sepatutnya diikuti oleh ummatnya. Sekali lagi ini adalah penafsiran yang bersifat khusus dari ayat tersebut, jika ditilik dari peristiwa yang melatar belakanginya. [lihat Tafsir al-Qurthubi: 14/138-139]

Adapun jika dikaji secara lebih mendalam, ayat di atas -di mata para ulama- merupakan dalil bahwasanya teladan Nabi berupa perbuatan dan tindak tanduk beliau bisa menjadi landasan atau dalil dalam menetapkan suatu perkara, karena tidak ada yang dicontohkan oleh Nabi kepada ummatnya melainkan contoh yang terbaik. Hal ini dijelaskan oleh Imam ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Tafsir Kariimir Rahmaan. Beliau berkata (hal. 726 Cet. Darul Hadits):

“Para ulama ushul berdalil dengan ayat ini tentang ber-hujjah (berargumen) menggunakan perbuatan-perbuatan Nabi. (Karena) pada asalnya, ummat beliau wajib menjadikan beliau sebagai suri teladan dalam perkara hukum, kecuali ada dalil syar’i yang mengkhususkan (bahwa suatu perbuatan Nabi hanya khusus untuk beliau saja secara hukum, tidak untuk ummatnya).”

Nabi kita adalah manusia yang terbaik di segala sisi dan segi. Di setiap lini kehidupan, beliau selalu nomor satu dan paling pantas dijadikan profil percontohan untuk urusan agama dan kebaikan. Sehingga tidak heran jika Allah mewajibkan kita untuk taat mengikuti beliau serta melarang kita untuk durhaka kepadanya dalam banyak ayat al-Qur-an, di antaranya firman Allah (artinya): “…Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.” [QS. An-Nisaa: 13]

Rasulullah juga pernah bersabda:

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَـى، فَقِيْلَ: وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى

“Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Lalu) dikatakan kepada beliau: ‘Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah ?’ Maka beliau menjawab: ‘Barangsiapa mentaati aku ia pasti masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia enggan (masuk surga).” [Shahih Bukhari: 7280]

Hakikat Makna Uswatun Hasanah

Kita sering terperangkap dalam pola prinsip yang keliru dalam memaknai hakikat uswatun hasanah yang ada pada diri Rasulullah . Tidak sedikit di antara kita mengkerdilkan makna sifat uswah (keteladanan) Nabi hanya terbatas pada masalah-masalah akhlak, sunnah-sunnah dan ritual ibadah yang dikerjakan oleh Nabi saja. Padahal, syari’at juga menuntut kita untuk meninggalkan -atau tidak mengerjakan- segala sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi dalam urusan agama ini. Inilah makna uswah yang lebih sempurna, mencakup sunnah fi’liyyah dan juga sunnah tarkiyyah.

Sunnah fi’liyyah adalah sunnah yang dikerjakan atau dicontohkan oleh Nabi. Dalam hal ini kita pun disunnahkan -bahkan bisa wajib- untuk mengerjakan persis seperti apa yang dikerjakan oleh beliau sebatas kemampuan kita.

Adapun pada sunnah tarkiyyah, kita dituntut untuk meninggalkan suatu bentuk ritual dikarenakan ritual tersebut ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi di masanya, padahal sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa beliau. Contohnya adalah kumandang adzan saat solat ‘Ied, adzan solat istisqo’ (minta hujan), dan adzan untuk jenazah. Ini semua ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi, maka bagi kita ummatnya, meninggalkan ritual-ritual (seperti adzan yang tidak pada tempatnya) tersebut juga termasuk sunnah –yang sifatnya wajib-, yang disebut sebagai sunnah tarkiyyah.

Contoh lain yang lebih pas di bulan ini (Rabi’ul Awwal) adalah; perayaan hari kelahiran Nabi (maulid). Merayakan kelahiran Nabi sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa Nabi dan Sahabat. Nabi tahu bahwa kelahiran dirinya ke muka bumi adalah rahmat bagi alam yang patut disyukuri. Demikian pula para Sahabat adalah orang yang paling mencintai dan memuliakan Nabi, mereka adalah kaum yang paling bersyukur atas kelahiran Nabi di tengah-tengah mereka. Namun faktanya Nabi dan Sahabat meninggalkan perayaan kelahiran tersebut, mereka tidak pernah mengerjakannya. Sehingga jadilah ia sunnah tarkiyyah bagi kita (yakni sunnah –yang bersifat wajib- untuk kita tinggalkan).

“Sunnah” Tarkiyyah Bermakna “Wajib”

Adapun dasar hukum sunnah tarkiyyah ini, para ulama berdalil dengan kisah tiga orang peziarah yang bertanya kepada istri-istri Nabi perihal keseharian ibadah yang dikerjakan oleh beliau. Anas radhiallahu’anhu, pembantu sekaligus Sahabat Rasulullah , mengisahkan yang artinya:

“Datang tiga orang menuju rumah para istri Nabi. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi. Manakala mereka dikabarkan perihal ibadah-ibadah yang dilakukan oleh Nabi, seakan akan mereka menganggapnya sedikit. Maka mereka berkata: ‘Kita ini di mana jika dibandingkan dengan Nabi? (Wajar saja), beliau telah diampuni dosa-dosanya, baik yang telah lampau dan yang akan datang.’ Salah seorang di antara mereka lantas berkata: ‘Adapun aku, sungguh aku akan solat malam selamanya (tidak tidur).’ Berkata lagi yang lain: ‘Aku akan berpuasa dahr, dan tidak akan berbuka (puasa setiap hari tanpa jeda).’ Dan yang satu lagi berkata: ‘Aku akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah selamanya.”

“Maka Nabi datang, lantas berkata (sambil marah) : ‘Kalian yang berkata begini…dan begini…? Adapun aku demi Allah! Aku orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian, dan aku yang paling taqwa kepada-Nya daripada kalian! Namun (kendatipun demikian) aku ini berpuasa, tapi juga berbuka (ada hari jeda). Aku solat (malam), dan aku juga tidur. Dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka sunnahku (lebih memilih yang lain), maka dia bukan golonganku”. [Bukhari: 5063, Muslim: 1401, Lih. Ushuulul Bida’ hal. 108]

Jika kita simak hadits di atas, bagaimana kerasnya ancaman Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak mau mencukukan diri dengan sunnah beliau, maka bisa dipahami bahwa “sunnah” tarkiyyah -dalam artian meninggalkan bentuk-bentuk ritual yang hendak dilakukan oleh ketiga orang tersebut- bersifat wajib hukumnya, bukan “sunnah” dalam pengertian ilmu fiqih; berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.

Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Fadhlu ‘Ilmis Salaf mengatakan: “…adapun apa–apa yang telah disepakati oleh Salaf (para Sahabat) untuk ditinggalkan (dalam urusan agama), maka tidak boleh dikerjakan. Karena para Salaf tidaklah meninggalkan sesuatu (dalam urusan agama ini), melainkan karena mereka tahu bahwa sesuatu tersebut tidak (disyari’atkan) untuk diamalkan.” [lih. ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 110]

Alhasil, apa yang Nabi contohkan kepada kita, niscaya itu baik. Dan apa-apa yang beliau tinggalkan dari perkara agama ini, sudah pasti itu bukan suatu kebaikan di sisi Allah jika kita kerjakan. Rasulullah bersabda:

إنَّهُ لَمْ يَكُن نَبِيٌّ قَبْلِي إلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Sungguh tidak ada satupun Nabi sebelumku, melainkan ia pasti menunjukkan (mengajarkan) kepada ummatnya segala bentuk kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan ummatnya dari segala macam keburukan yang ia ketahui”. [Shahih Muslim: 1844]

Dan Nabi telah memperingatkan kita dari berbuat sesuatu yang tidak ada teladannya dari beliau dalam urusan agama ini. Sebagaimana sabdanya:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan amalan ibadah yang tidak ada perintahnya dari kami (Nabi dan Sahabat1), maka amalannya tertolak (tidak diterima).” [Syarh Shahih Muslim: 1718]

Akhirulkalam, baik sunnah fi’liyyah (mengerjakan yang dicontohkan) maupun sunnah tarkiyyah (meninggalkan yang tidak dicontohkan), kedua-duanya harus berjalan dalam diri seorang mukmin yang mengaku Rasulullah sebagai teladan hidupnya. Dengan demikian, barulah hakikat uswatun hasanah pada ayat yang kita kaji ini benar-benar tidak hanya sekedar pemanis bibir di mimbar-mimbar ceramah. Wallahua’lam

Disusun oleh : Tim Redaksi al-Hujjah

Kepustakaan :

.: Tafsir al-Qurthubi, Cet. Darulkitab

al-Arobi: V/1423 H

.: Tafsir Karimir Rahman, Cet. Darul Hadits:

1426 H

.: ‘Ilmu Ushulil Bida’, Cet. Darur Royah:

II/1417 H

(Catatan kaki)————————–

1 Sebagaimana dijelaskan oleh Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar: 2/69-70. Lihat ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 27 karya Ali Hasan al-Halabi.