Al-Qur-an banyak menjelaskan kisah-kisah umat terdahulu yang negerinya diluluhlantahkan oleh bencana besar akibat kesyirikan dan kekufuran yang mereka lakukan. Allah berfirman (artinya):
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah saja, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya…” [QS. Al-A’raaf: 73]
Namun kaum Tsamud enggan untuk bertauhid (mengesakan Allah dalam ibadah), mereka tetap menyembah Allah melalui perantara-perantara berhala yang mereka anggap keramat sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu mereka dari kaum ‘Aad. Maka Allah mengabarkan tentang akhir nasib mereka:
“(Artinya) Karena itu mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” [QS. Al-A’raaf: 78]
Allah juga mengutus Syu’aib ‘alaihissalam kepada penduduk Madyan untuk menyerukan ajaran yang sama yaitu menegakkan tauhid dan menjauhkan syirik:
“(Artinya) Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah saja, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya… ” [QS. Al-A’raaf: 85]
Namun mereka enggan untuk memurnikan tauhid bahkan membangkang, maka Allah mengabarkan kepada kita akhir kisah penduduk Madyan:
“Kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” [QS. Al-A’raaf: 91]
Mari sejenak merenungkan kisah umat Nabi Nuh ‘alaihissalam yang dimusnahkan dari muka bumi oleh banjir bandang dan topan yang menghinakan mereka. Yang mengundang bencana maha dahsyat tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah penyimpangan mereka dari kemurnian ajaran tauhid. Allah mengabarkan kondisi mereka sebelum bencana besar itu terjadi:
“(Artinya) Dan mereka (kaum Nuh) berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) kepada Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” [QS. Nuh: 23]
Siapakah Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr itu? Ibnu Abbas radhiallahu’anhu (ulama’nya para sahabat) menjelaskan: “Nama-nama tersebut adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam (yang hidup sebelum diutusnya Nabi Nuh). Ketika mereka wafat, syaitan membisikkan kepada kaumnya agar mereka membuat patung orang-orang shalih itu lalu memberinya nama dengan nama-nama mereka. Mereka pun mengerjakan (bisikan syaitan tersebut). Pada mulanya patung-patung itu tidak disembah. Hingga setelah mereka wafat dan ilmu (agama) musnah, maka patung-patung itu akhirnya disembah (dianggap sebagai wasilah menuju Allah)”. [Shahih Bukhari: 4920]
Maka Nabi Nuh diutus untuk mengembalikan mereka kepada tauhid sepeninggal Nabi Adam ‘alaihissalam:
“(Artinya) Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku, beribadahlah kepada Allah saja, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain diri-Nya.’ Sesungguhnya kalau kamu tidak beribadah kepada Allah saja, aku takut kamu akan ditimpa adzab pada hari yang besar.” [QS. Al-A’raaf: 59]
Namun kebanyakan kaum Nuh malah membangkang, kecuali hanya sedikit di antara mereka. Maka siksa Allah pun tidak terelakkan lagi. Banjir bandang dan topan maha dahsyat memusnahkan kaum Nuh, yang selamat hanyalah mereka yang bertauhid dan menaiki bahtera Nuh ‘alaihissalam.
Ajakan kepada tauhid dan pengingkaran terhadap syirik dan kekufuran adalah misi dakwah para Nabi dan Rasul seluruhnya, bukan hanya sebatas apa yang disebutkan kisahnya di atas saja. Allah berfirman tentang misi utama para Rasul:
“(Artinya) Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (yaitu syaitan dan segala sesuatu yang dipuja dan diibadahi selain Allah) itu”. [QS. An-Nahl: 36]
Antara Toleransi Terhadap Kesyirikan & Kerusakan yang Besar
Setelah Allah memerintahkan kita untuk bertauhid dan melarang kita dari syirik, maka konsekuensi yang harus berlanjut setelah itu adalah bersikap Wala’ (cinta dan loyal) terhadap tauhid, orang-orang yang bertauhid, dan segenap syiar-syiar tauhid. Sebaliknya kita bersikap Bara’ (benci dan berlepas diri) dari kesyirikan, orang-orang musyrik, dan segenap pernak-pernik kesyirikan. al-Wala’ wal Bara’ adalah prinsip yang diperintahkan oleh Allah, sebagai bukti kejujuran kita dalam mentauhidkan-Nya.
“(Artinya) Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah Ta’ala saja”. [Al-Mumtahanah : 4]
“(Artinya) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”. [At-Taubah : 23]
Ketika prinsip yang agung ini tidak lagi dijalankan oleh kaum muslimin, maka yang bakal terjadi adalah kekacauan dan kerusakan yang besar di muka bumi. Allah berfirman:
“(Artinya) Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan (al-Wala’ wal Bara’) yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” [QS. Al-Anfaal: 73]
Contoh nyata pelanggaran terhadap prinsip al-Wala’ wal Bara’ yang terjadi di sebagian kaum muslimin saat ini adalah menonton parade berhala (baca: ogoh-ogoh) yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Mereka gembira dan takjub, tidak ada rasa marah di dalam hati apalagi berlepas diri. Padahal itu adalah perayaan kesyirikan yang sangat menghina dan merendahkan Allah sebagai Maharaja alam semesta. Tanpa sadar kita tengah mengundang kemurkaan-Nya.
Contoh pelanggaran yang lain adalah mengucapkan selamat atas hari raya orang-orang kafir. Ini adalah bentuk toleransi yang diharamkan oleh Islam. Karena konsekuensi dari ucapan selamat tersebut adalah ridha terhadap perayaan syirik dan penghormatan terhadap simbol-simbol kesyirikan.
Al-Qur-an mengabarkan bahwa ketika al-Wala’ wal Bara’ telah pudar, saat dinding pemisah antara iman dan kufur telah runtuh, antara tauhid dan syirik tak bisa lagi dibedakan, manakala loyalitas dan kecintaan telah diberikan kepada ahlu syirik, dan kebencian justru diarahkan kepada ahlu tauhid dan orang-orang mukmin, maka pada saat itulah fitnah dan kerusakan yang besar akan terjadi. Salah satu bentuknya adalah dikuasainya kaum muslimin oleh orang-orang kafir di negeri-negeri yang justru penduduknya mayoritas muslim.
Antara Syirik dan Bencana Hari Kiamat
Kiamat atau hari hancurnya alam semesta adalah salah satu bukti terbesar bahwa kesyirikan dan hilangnya ketauhidan merupakan sebab utama datangnya siksa dan bencana.
Menjelang hari kiamat nanti, lafaz “Allah” (yang merupakan tanda terakhir eksistensi tauhid suatu kaum) tidak lagi dikenal dan tak pernah lagi disebut di muka bumi, maka saat itulah kehancuran semesta terjadi. Hanya Allah yang tahu bagaimana hakikat kedahsyatan bencana pada hari itu. Yang jelas, hari na-as itu hanya akan menimpa orang-orang kafir ahlu syirik, tak ada satu pun ahlu tauhid yang masih hidup saat hari itu tiba. [lihat Shahih Muslim, Bab: Dzikru ad-Dajjal. 18/70]
Cukuplah ini menjadi pelajaran yang berharga bagi kita bahwa ketika kesyirikan dan maksiat telah merebak dan mendominasi, serta tauhid telah dilupakan, maka bersiaplah menanti siksa Allah di dunia sebagai mukaddimah siksat akhirat yang lebih mengerikan lagi.
Bertauhid & Jauhi Syirik, Negeri Aman
Saat ini di negeri kita, atau yang lebih khusus lagi di Lombok, praktek-praktek kesyirikan semakin tumbuh dan menjamur, dipertontonkan secara vulgar seolah itu bukan kemaksiatan terbesar kepada Allah. Sebut saja ritual sesaji kepala sapi/kerbau yang merupakan manifestasi kesyirikan dalam bentuk berkorban kepada selain Allah, ngalap berkah meminta keselamatan di kuburan yang dikeramatkan, praktek perdukunan berkedok kyai/tuan guru, dan lain-lain dari bentuk kesyirikan yang beragam. Ini semua akan mengundang kemurkaan Allah di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak.
Untuk itu kita harus takut dan merendahkan diri hanya kepada Allah, segera kembali dan bertaubat kepada-Nya. Firman Allah (artinya):
“Maka Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? [QS. Al-A’raaf: 97-98]
Sesungguhnya keamanan suatu negeri dan penduduknya sangat bergantung pada penegakan ajaran tauhid serta jauhnya kesyirikan dari segenap sendi kehidupan.
“(Artinya) Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. (Syaratnya adalah) mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” [QS. an-Nuur: 55]
***
Disusun oleh: Redaksi al-Hujjah