Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari ke-10 sekaligus ke-9 agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ke-10 saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan (tasu’a) agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. [al-Minhaj Syarh Muslim: 8/12-13]

Semangat untuk menyelisihi ritual-tradisi orang-orang kafir senantiasa dikobarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikut beliau. Inilah yang kemudian menegakkan kewibawaan umat Islam di mata musuh-musuhnya sampai menjulang tinggi ke atap langit. Bendera al-Islaamu Ya’lu walaa Yu’la ‘Alaihi (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang melampaui ketinggianya) benar-benar menghujam dan mengakar di bumi. Simaklah hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini yang menggambarkan betapa Islam menekankan umatnya untuk tampil beda dari umat yang lain (baca: kafir):

مَـنْ تَشَـبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُـمْ

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka (kaum tersebut).” [Hadits Shahih, Ahmad: 2/50 dan 92]

Potonglah kumis, peliharalah jenggot dan selisihilah orang-orang (kafir) majusi” [Bukhari-Muslim]

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” [Hadits Hasan, riwayat Abu Dawud: 2/305, Ibnu Hibban: 224, lih. Sifat Shaum Nabi oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi dan Syaikh Salim al-Hilali]

Setelah membawakan hadits tersebut, Syaikh Ali Hasan al-Halabi dan Syaikh Salim al-Hilali berkomentar: “Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin atau mencari makan di Gedung Putih -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan di antara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj.”

Disinilah rahasia kedigdayaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat di hadapan orang-orang Yahudi dan kuffar semasa hidupnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat memusuhi Yahudi atas alasan dien (agama Allah), sementara kita saat ini seolah memusuhi Yahudi hanya karena tanah kita (Palestina) dirampok. Sebagaimana ungkapan yang mengejutkan dari seorang tokoh Ikhwanul Muslimin, Yusuf Qardhawi: “Kami tidak memerangi Yahudi karena alasan aqidah, namun kami memerangi Yahudi karena alasan tanah.” [Harian ar-Raayah no. 4696, 24 Syaban 1415H-25 Jan. 1995]. Jika demikian halnya, mungkinkah Allah akan menolong kita dalam mengatasi musuh-musuh Islam, sementara kita masih berjihad atas nama ego-duniawi kita yang melebihi aqidah kita terhadap Allah? Padahal Allah berfirman:

(artinya) Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [QS. at-Taubah: 24]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat memerangi Yahudi dari segala aspek kehidupan secara lahir dan bathin, sedangkan kita pada hari ini hanya memerangi Yahudi sebatas di mulut, cuma gertakan kosong saat orasi dan sumpah serapah yang tiada bekas di spanduk-spanduk demo. Sementara pada waktu yang sama kita begitu membanggakan produk demokrasi Yahudi, kita elu-elukan kebebasan liberalisme barat, kita mengadopsi sistem ekonomi ribawi mereka, kita terperanga oleh kehebatan Barat (sekalipun itu hanya di layar bioskop), kita bahkan menghadiri hari raya mereka sambil memberi ucapan selamat. Lantas bagaimana kita bisa menang? Belum apa-apa sudah mengekor, hancur (tanpa sadar) sebelum bertempur.

Umar bin Khattab pernah berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah dengan menjauhi hari-hari besar mereka.” [Sunanul Kubra al-Baihaqi juz IX hal. 234. Kanzul ‘Ummal hadits no. 1732].

Demikianlah pembaca budiman (yang dirahmati Allah), bahwa dengan berusaha untuk tidak mengekor pada Yahudi dalam ritual dan tradisi mereka, sungguh kita telah mengetuk pintu kemenangan yang hakiki, pintu yang selama ini susah-payah dicari oleh para “cendikiawan” dan “orang-orang pintar”.

Untuk itu marilah kita menjadikan momen 9 dan 10 Muharram tahun ini (yang Insya Allah jatuh pada hari Sabtu-Ahad, 26-27 Des. 2009) sebagai momen kebangkitan untuk memenangkan pertarungan ideologi, pergulatan budaya, pertempuran peradaban dan eksistensi melawan Yahudi dan sekutu-sekutunya. Kita di negeri ini tidak dibebankan mengangkat senjata (karena berbagai kondisi yang tidak memungkinkan), kita lemah dan diperlemah dari segala lini. Namun dengan berpuasa 9-10 Muharram, setidaknya kita menunjukkan ketulusan kepada Allah tentang aqidah al-Wala wal-Bara’  yang kita imani.   

Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu pernah berkata : “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, ber-wala’ karena Allah, ber-bara’ karena Allah, maka dengan itulah ia akan memperoleh perwalian dari Allah. Sungguh nilai-nilai persaudaraan saat ini pada umum-nya ditegakkan di atas nilai-nilai dunia dan kebendaan yang sungguh tidak akan mendatangkan manfaat sama sekali bagi siapapun”.

Dan jika kita telah mendapatkan perwalian dari Allah, maka Allah akan menolong kita dalam meluluhlantahkan kekuatan musuh. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah telah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang terhadapnya”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Bahkan Allah menegaskan sifat-sifat golongan yang akan mendapatkan pertolongan berupa kemenangan dari-Nya:

لاَ تَـجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَـوْمِ الآخِرِ يُوَآدُّوْنَ مَنْ حَـآدَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْكَـانُوْا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ أُلَئِكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الإِيْـمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” [QS. al-Mujaadilah: 22]

Melalui kesempatan ini pula kami menghimbau kepada seluruh kaum muslimin untuk TIDAK mengucapkan “Selamat Natal dan Tahun Baru”, karena hal ini bertentangan dengan konsekuensi aqidah al-Wala wal-Bara’ di dalam Islam. Wujud toleransi dalam Islam adalah dengan berbuat adil (tidak zhalim) kepada orang-orang kafir, dan itu tidak harus dengan mengorbankan prinsip dan batasan-batasan yang telah jelas dalam agama kita.

***

Disusun oleh: Redaksi al-Hujjah        

Muraja’ah oleh:  Ust. Mukti Ali Abdul Karim