Sebelum berbicara lebih jauh tentang tradisi perayaan Isra’-Mi’raj, ada baiknya kita sedikit flashback melalui catatan-catatan sejarah yang otentik demi mengetahui kapan sebenarnya peristiwa fenomenal Isra’-Mi’raj ini terjadi. Karena realita yang ada mengungkapkan bahwa para ulama tidak satu kata dalam masalah ini. Kapan tepatnya peristiwa Isra’-Mi’raj terjadi, sungguh telah menjadi perdebatan ilmiah yang sengit di kalangan para sejarawan muslim sejak dulu dari masa ke masa.

Kapan Pastinya Isra-Mi’raj Terjadi..??

Seorang peneliti literatur Islam bernama Abdul Qâdir al-Junaid dalam makalah ilmiahnya yang berjudul Tadzkîrul Bâhits bi-Annahu Lâ Yashihhu Tahdîdu fî Târîkhil Hâditsatil Isrâ-wal-Mi’raj Atsarun walâ Hadîts (Bahasan Ilmiah tentang Tidak Shahihnya Penentuan Tanggal Peristiwa Isra’-Mi’raj dari Sisi Atsar dan Hadîts) menjelaskan bahwa silang pendapat dalam masalah ini bisa kita kategorikan menjadi 9 kubu pendapat. Ada yang mengatakan peristiwa agung tersebut terjadi pada bulan Rajab, Ramadhân, Syawwâl, Dzul Qa’dah, Rabî’ul Awwal, dan Rabî’ul Akhir. Setiap pendapat dengan ulamanya masing-masing.

Pendapat yang masyhur di tanah air menyebutkan bahwa Isra’-Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Ini adalah pendapat sebagian tukang cerita yang kemudian dipilih juga oleh Ibnul Jauzi, Abdul Ghani al-Maqdisi dari Madzhab Hambali, dan merupakan salah satu dari tiga pendapat an-Nawawi dari Madzhab Syafi’i.

Pendapat ini telah disanggah oleh banyak ulama, di antaranya; Abul Khaththâb al-Andalusi al-Mâliki (lahir: 546-H) dalam kitabnya “Adâ-u ma wajaba min bayâni wadh-‘i wadh-dhâ’în fi Rajab” hal. 110, di mana beliau berkata:

وذكر بعض القُصاص أن الإسراء كان في رجب، وذلك عند أهل التعديل والتجريح عين الكذب

“Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isra’-Mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Pendapat ini, berdasarkan (penelitian) para pakar studi-kritik periwayatan, adalah murni kedustaan.”

Ucapan Abul Khaththâb al-Andalusi ini dinukil oleh ulama-ulama besar dari kalangan ulama Syâfi’iyyah, semisal Syihâbuddin al-Maqdisi asy-Syâfi’i (lahir: 599-H) dalam kitab “al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’i wal Hawâdits” hal. 232, demikian juga Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syâfi’i (lahir: 773-H) dalam kitabnya “Tabyînul ‘Ajabi bimâ Warada fî Syahri Rajab” hal. 23.

Ulama-ulama besar asy-Syâfi’iyyah yang lain semisal Ibnu Katsîr dalam kitabnya al-Bidâyah wan Nihâyah (3/108) dan ‘Ali Ibrâhim Ibnul ‘Ath-thâr dalam kitabnya Hukmu Shaumi Rajab wa Sya’bân hal. 34, mengatakan bahwa riwayat tentang 27 Rajab statusnya tidak shahih.

Perbedaan pendapat tidak hanya terjadi pada bilangan bulan, tapi juga pada bilangan tahun. Pakar sejarah Islam, Shâifurrahman al-Mubârakfuri rahimahullâh, dalam bukunya Sirah-nya yang terkenal, ar-Rahîqul Makhtûm (hal. 85) menyebutkan ada 5 pendapat yang mengemuka dalam literatur sejarah terkait tahun terjadinya Isrâ’-Mi’raj:

  1. Pada tahun pertama di mana Nabi menerima Nubuwwah, pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarîr ath-Thabari.
  2. Pada tahun ke-5 semenjak Nubuwwah, ini dipilih oleh an-Nawawi dan al-Qurthubi.
  3. Pada malam 27 Rajab tahun ke-10 Nubuwwah, ini dipilih oleh al-Manshûrfuri.
  4. Pada bulan Ramadhân tahun ke-12 semenjak Nubuwwah.
  5. Pada bulan Muharram (ada yang mengatakan Rabî’ul Awwal) tahun ke-13 semenjak Nubuwwah.

Untuk 3 pendapat pertama, Shâifurrahman al-Mubârakfuri rahimahullâh memastikan ketidakbenarannya. Sementara untuk 3 pendapat yang terakhir, beliau menyatakan bahwa itulah yang paling mendekati validitas (keshahihan). Hanya saja beliau mengaku tidak bisa memastikan mana di antara ketiganya yang paling benar.

Sebuah Konsekuensi Historis

iqul Mak

Alhasil, telaah para pakar sejarah Islam menyimpulkan bahwa kepastian tentang kapan terjadinya Isra’-Mi’raj adalah suatu hal yang masih simpang siur. Fakta tersebut menyiratkan bahwa pengetahuan tentang kapan tanggal pasti persitiwa fenomenal itu terjadi, bukanlah perkara yang esensial dalam agama. Di mata para Sahabat, hal tersebut tidak penting. Karena jika penting, tentu riwayat dari para Sahabat akan ramai sampai pada kita tentang kapan peristiwa tersebut terjadi. Memang ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menegaskan bahwa Isra’-Mi’raj terjadi pada tanggal 12 Rabî’ul Awwal, namun sayang riwayat ini tidak shahih.

Demikian agungnya peristiwa Isra’-Mi’raj. Betapa agungnya perintah shalat yang dijemput langsung oleh Rasulullâh dari Rabb-nya. Betapa bersejarahnya perjalanan yang tidak mampu dijangkau akal tersebut. Namun kenapa tidak ada riwayat yang pasti tentang kapan peristiwa bersejarah tersebut terjadi? Jawabannya bermuara pada satu titik, karena tanggal peristiwa Isra’-Mi’raj tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah tertentu dalam syari’at kita. Ia adalah satu di antara tanda-tanda kebesaran Allâh, dan satu di antara bukti kenabian Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Baik al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang shahih, tidak ada yang menyiratkan—apalagi menegaskan—bahwa 27 Rajab adalah momentum yang punya korelasi dengan ritual ibadah tertentu.

Kalau Saja itu Ibadah…

Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خيرُ الناسِ قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

“Sebaik-baik generasi adalah generasi di zamanku (Sahabat), kemudian generasi setelahnya (Tâbi’în), kemudian generasi setelahnya (Tâbi’ut Tâbi’în).”

Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa segenap kebaikan yang pernah diajarkan oleh Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam secara dominan telah diamalkan dengan sebenar-benarnya oleh tiga generasi terbaik tersebut. Andaikata Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah melancong ke negeri Cina, lalu mengajarkan sedikit ritual ibadah yang belum pernah diajarkannya di Madinah di hadapan para Sahabat, niscaya generasi terbaik ini akan datang ke Cina—sekalipun harus merangkak—demi mencari tahu tentang sunnah tersebut untuk kemudian mereka amalkan. Demikianlah gambaran betapa “raskusnya” generasi terbaik ini dalam mengumpulkan pundi-pundi pahala dari ritual ibadah yang disyari’atkan.

Sekali lagi, andai-andai di atas hanya sekedar ilustrasi. Toh realitanya, semua kebaikan dan ritual ibadah yang diketahui oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sudah dibeberkan semuanya kepada para Sahabat tanpa ada secuilpun yang tersisa apalagi disembunyikan. Sebagaimana sabda beliau:

ما بعث الله من نبي إلا كان حقاً عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم ، وينذرهم شر ما يعلمه لهم

“Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi, melainkan pasti wajib atasnya untuk menunjukkan pada ummatnya kebaikan yang ia ketahui, dan mewanti-wanti mereka dari keburukan yang ia ketahui”. [Muslim: 1844]

Namun…., sekali lagi namun. Abu Bakr ash-Shiddîq tidak pernah merayakan malam Isra’-Mi’raj dengan membaca hikayat Isra’-Mi’raj atau ritual tertentu, tidak juga dengan ‘Umar bin Khaththâb, tidak juga dengan ‘Utsmân bin ‘Affân, tidak pula dengan ‘Ali bin Abi Thâlib radhiallâhu’anhum. Demikian pula dengan segenap Sahabat yang lain. Generasi Tâbi’in dan Tâbi’ut Tâbi’în juga demikian.

Bahkan kita tidak menemukan adanya catatan sejarah bahwa para Imam Madzhab yang empat, pernah merayakan malam Isra’-Mi’raj ini dengan ritual perayaan tertentu.

لو كان خيرا لسبقونا إليه

“Kiranya itu baik dan bernilai ibadah di sisi Allâh, tentu mereka (generasi-generasi terbaik ummat ini) sudah lebih dulu mendahului kita dalam mengamalkannya.”

Yang ada justru sebaliknya…

Ibnu an-Nuhhâs dalam kitabnya, Tanbîhul Ghâfilîn, mengatakan:

اعتقاد أن ذلك قربة من أعظم البدع وأقبح السيئات

“Keyakinan bahwa perayaan malam Isra’-Mi’raj adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allâh, termasuk keyakinan yang paling bi’dah dan paling buruk.” [Dinukil dari Majallatul Buhûts al-Islamiyyah: juz 76/hal. 38-39, online: alifta.net]

Perayaan Isra’-Mi’raj termasuk inovasi baru dalam syari’at yang dibuat belakangan, tidak ada keterangannya dari Pembuat Syari’at (Allâh) dan Penyampai Syari’at-Nya (Rasulullâh). Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengecam keras amalan-amalan baru yang tidak ada contohnya dalam syari’at. Beliau bersabda:

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan (ritual ibadah) yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim]

Adapun ketulusan rasa cinta dan pengagungan kita kepada Allâh dan Rasul-Nya, haruslah diwujudkan dalam koridor yang telah ditentukan oleh syari’at, bukan justru mengada-adakan ritual baru dalam syari’at, sekalipun alasannya adalah maslahat, atau syiar dakwah.

Menjalankan syariat harus pas. Idealnya tidak kurang dari apa yang telah dicontohkan syari’at. Jika terjadi kekurangan, maka kita masih bisa berharap Allâh memaafkan dengan taubat dan pengakuan kesalahan yang telah kita lakukan. Namun jika lebih atau beribadah di luar koridor syari’at, inilah yang jadi masalah. Kebanyakan kita—saat melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari syari’at—merasa tidak melakukan kesalahan sedikitpun, sehingga buat apa bertaubat? Tidak heran jika Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الله حجب التوبة عن كل صاحب بدعة حتى يدع بدعته

“Sesungguhnya Allâh menghalangi taubat dari seorang pelaku bid’ah, sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” [HR. Thabrâni, lih. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb no. 54]

Syari’at yang ada saja, kita masih jauh dari kurang dalam mengamalkannya, lantas kenapa mengamalkan sesuatu yang tidak ada dalam syari’at?

***
Artikel Buletin al-Hujjah
https://alhujjah.com

Penyusun:
Johan Saputra Halim (Abu Ziyân)
http://abiziyan.ponpesabuhurairah.com