Kapan Sebenarnya Nabi Lahir..?

Seluruh pakar sejarah Islam sepakat, bahwa perayaan Maulid atau hari kelahiran Nabi baru muncul jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan tersebut dimulai sejak 12 Rabi’ul Awwal, tanggal yang masyhur diyakini sebagai hari kelahiran Nabi. Namun ternyata, ada banyak pendapat ulama terkait kapan sebenarnya tanggal kelahiran Nabi. Satu hal yang pasti, Nabi lahir pada hari Senin berdasarkan hadits shahïh berikut ini:

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

“Hari tersebut (Senin) adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” [HR. Muslim no. 1162]

Bahkan tahun Gajah yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi pun tidak disepakati oleh para pakar sejarah. Banyak pendapat tentang hal ini sebagaimana dipaparkan oleh Dr. Akram Dhiyä’ dalam as-Sïrah an-Nabawiyyah as-Shahïhah (1/97).

Ibnu Katsïr rahimahulläh (774-H) memaparkan tentang perbedaan pendapat terkait kapan tanggal kelahiran Nabi; ada yang mengatakan tanggal 8, tanggal 10, dan 12 Rabi’ul Awwal [as-Sïrah an-Nabawiyyah: 1/199]. Tanggal 12 Rabi’ul Awwal, merupakan pendapat mayoritas. Namun penelitian Mahmüd Bäsya (ahli falaq Mesir ternama) menyebutkan bahwa hari Senin di tahun Gajah sebenarnya jatuh pada tanggal 9 Rabi’ul Awwal yang bertepatan dengan tanggal 20 April 571-Masehi [ar-Rahïq al-Makhtüm: 41, al-Mubärakfüri].

Demikianlah, para ulama yang membidangi sejarah Islam ternyata tidak se-iya sekata dalam memastikan kapan tanggal kelahiran Nabi. Namun anehnya mereka semua ijma’ (sepakat) bahwa tanggal wafatnya Nabi adalah 12 Rabi’ul Awwal. Ini disampaikan oleh pakar sirah ahlussunnah, asy-Syaikh Dr. ‘Utsmän al-Khamïs (sumber: https://youtu.be/D_b-_lrO-Go)

Alhasil, tidaklah terlalu penting untuk bersitegang memastikan kapan sebenarnya Nabi lahir. Mengingat al-Qur’an maupun hadits-hadits yang shahïh tidak berbicara mengenai kapan tepatnya Rasülulläh shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir. Ini berarti, pengetahuan pasti tentang tanggal kelahiran Nabi sejatinya tidak punya kaitan dengan suatu amalan atau ritual ibadah tertentu di dalam Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Qur’an dan al-Hadits tidak menyebutkannya.

Yang Pertama Kali Merayakan Maulid

Sudah menjadi fakta sejarah bahwa Nabi tidak pernah merayakan hari kelahiran beliau (maulid), tidak juga para Sahabat beliau, para Täbi’ïn, dan para Täbi’ut-Täbi’ïn. Demikian pula Imam-Imam Madzhab yang empat (Imam Abu Hanïfah, Imam Mälik, Imam Syäfi’i, dan Imam Ahmad) juga tidak pernah merayakannya. Padahal jika dipikir-pikir mereka adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam berbagai macam kebaikan, serta paling cinta dan paling paham tentang sunnah Nabi. Jika perayaan hari lahir Nabi adalah ritual ibadah yang dianjurkan, tentu mereka sudah lebih dulu dari kita dalam merayakannya. Lantas jika tidak pernah dirayakan oleh Nabi, para Sahabat, para Täbi’ïn dan Imam-Imam Madzhab, siapakah yang pertama kali merayakannya hingga kini men-tradisi di tengah-tengah kita…??

Hasan as-Sandübi dalam kitabnya Tärïkh al-Ihtifäl bil Maulid an-Nabawy (hal. 62-73) menceritakan bahwa yang pertama kali merayakan maulid adalah kerajaan Syi’ah yang menamakan diri Daulah (Dinasti) Fäthimiyyah.

Syaikh Bakhit al-Muti’iy, mufti negeri Mesir, juga mengatakan dalam kitabnya bahwa yang pertama kali mengadakan perayaan Maulid adalah penguasa Mesir tahun 362-H bernama al-Mu’iz Lidïnilläh, keturunan ‘Ubaidilläh dari Dinasti Fäthimiyyah. Mereka bahkan merayakan 6 jenis maulid yaitu: Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fäthimah, maulid al-Hasan, maulid al-Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu. [Ahsanul Kalam: 44, id.wikipedia.org]

Menurut Dr. Ibrâhiim bin Muhammad al-Huqail, perayaan maulid Nabi yang dilakukan oleh Dinasti Fäthimiyyah, sangat kental nuansa politisnya. Karena saat itu rakyat Mesir sudah gerah dengan kezaliman Dinasti Fäthimiyyah. Maka untuk mengalihkan isu dan meredam gejolak yang bisa membahayakan kekuasaan mereka, diadakanlah perayaan-perayaan tersebut. Intinya, perayaan maulid diadakan untuk kepentingan kekuasaan Syi’ah saat itu. [Sumber: “al-Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi, Nasy-atuhu, Târiikhuhu, wa Haqiiqatu man Ahdatsûhu” http://www.alukah.net/Web/hogail/0/1310/]

Bahkan tidak hanya perayaan maulid Nabi dan Ahli Bait saja, Dinasti Fäthimiyyah juga ikut merayakan hari besar orang-orang kafir seperti; “perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam al-Kholij, hari Nairüz (Tahun Baru Persia), hari al-Ghattas, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” [al-Bida’ al-Hawliyah: 145-146]

Anehnya, Dinasti Fäthimiyyah mengaku sebagai keturunan Fäthimah az-Zahra putri Nabi yang mulia. Dalam kitabnya, al-Qädhi Abu Bakr al-Bäqilläny membantah pengakuan tersebut seraya menyebutkan bahwa Dinasti Fäthimiyyah adalah keturunan Majusi (Persia). Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim diantara mereka ada yang menganggap Ali bin Abi Thälib sebagai Tuhan, atau ada sebagian mereka yang mengaku ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Dinasti Fäthimiyyah ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani. al-Qädhi Abu Ya’la dalam kitabnya al-Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Dinasti Fäthimiyyah. Al-Imäm  al-Ghazäli juga membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadhä-ihul Bäthiniyyah (menyingkap kesesatan aliran Batiniyyah).” [al-Bida’ al-Hawliyyah: 142-143]

Ini menunjukkan bahwa Dinasti Fäthimiyyah yang beragama Syi’ah ini sebenarnya merayakan maulid tidak benar-benar atas alasan memuliakan dan mencintai Nabi serta Ahlul Bait-nya. Cinta Nabi dan Ahli Bait hanya kedok mereka untuk menarik simpati ummat Islam ketika itu. Menurut Dr. Abdul Mun’im Sulthön, seorang peneliti kehidupan sosial di era Dinasti Fäthimiyyah, menyebutkan bahwa Dinasti Fäthimiyyah lebih perhatian dan serius mengadakan perayaan Syi’ah mereka ketimbang merayakan maulid Nabi [Tärïkh al-Ihtifäl: 28]. Ini membuktikan bahwa pengakuan cinta Rasul dan cinta Ahli Bait yang mereka tunjukkan, hanyalah dusta belaka. Lagi pula dalam syari’at Islam, pemuliaan dan kecintaan kita kepada Nabi dan Ahli Bait-nya haruslah dibuktikan dengan mengikuti teladan dan petunjuk beliau dalam amal shalih dan ketaatan, bukan dengan semata-mata merayakan hari kelahiran mereka.

Pada tahun 546-H, Sultan Shalähuddïn al-Ayyübi (532-589 H) akhirnya menghancurkan Dinasti Fäthimiyyah yang telah banyak merugikan kaum muslimin. Syaikhul Isläm Ibnu Taimiyyah mengatakan:

“Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalähuddïn. Dia yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Pada masa dia, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terbesar luas.” [Majmu’ al-Fatäwa: 3/281]

Namun setelah kekalahan Dinasti Fäthimiyyah, tampaknya berbagai jenis perayaan yang diwariskan oleh Dinasti Syi’ah tersebut sudah terlanjur mendarah daging sehingga tidak bisa hilang 100 persen. Perayaan maulid Nabi khususnya, bahkan dirayakan secara besar-besaran di abad ke-7 hijriah oleh Raja Irbil (wilayah Irak sekarang) bernama al-Muzhaffar Abu Sa’ïd Kaukaburi atas bujukan dari seorang tokoh sufi bernama ‘Umar al-Mula. Perayaan tersebut akhirnya men-tradisi ke seluruh penjuru negeri kaum muslimin sampai hari ini.

***

Oleh: Abu Ziyan Halim

(Pimpinan Redaksi)